Suryadi
Pemerhati Budaya & Kepolisian
Buserpolri.com||Benar bahwa (sebutan) premanisme tidak ada
dalam hukum pidana negeri ini. Toh kebanyakan
orang atau setidaknya banyak media massa memaknai,
lebih-kurang sebagai tindakan memaksa, bahkan
dengan kekerasan, yang dilakukan oleh seseorang atau
banyak orang, dengan mengatasnamakan suatu kelompok
atau bukan, untuk menguasai sesuatu yang bukan haknya.
PARA pelaku premanisme itu, agaknya rata-rata pengangguran (jobless), dan kebanyakan berpendidikan pas-pasan, tapi hidup di tengah kemajuan teknologi tinggi khususnya dalam bidang komunikasi. Boleh jadi, kenyataan ini seperti yang ditulis budayawan (alm) Mochtar Lubis dalam Ciri Lainnya, yakni “Sifat kita cenderung bermalas-malas…” (Manusia Indonesia, 2017: 39). Begitupun sastrawan yang juga wartawan ini masih menuliskan dengan “kita”. Artinya, itulah persoalan bersama bangsa di tengah kemiskinan adab dan materi,
Peristiwa yang ditimbulkan akibat premanisme, mulai dari yang teringan (tapi kerap berakibat fatal) sampai kepada yang berat-berat. Yang ringan, misalnya, di banyak jalan-jalan sempit ditemukan beroperasi para “pak ogah” yang sering memalak ketika memandu mobil yang melintas di situ; mereka yang mengaku “ankamsi” (singkatan dari anak kampung sini) seraya memalak mereka yang akan merenovasi rumah di suatu kawasan perumahan; mereka yang memalak saat mobil PLN akan memerbaiki jaringan di suatu kawasan perumahan, dengan anggapan bahwa itu adalah rekanan kontraktor.
Ada pula modus lain. Para preman memeras para pekerja seraya menjanjikan lapangan kerja di suatu pabrik. Modusnya, memaksa pemilik industri meyediakan lapangan kerja bagi sejumlah pekerja yang mereka telah ia jamin diterima bekerja di situ setelah meminta sejumlah uang. Juga, ada lagi sekelompok preman yang sampai menghadang dan membakar salah satu dari empat mobil polisi ketika polisi akan menangkap ketua kelompok organisasi massa (ormas) yang terlibat penggunaan “air soft gun” dan penganiayaan. Luar biasa pengaruh pemimpin preman ini!
Terakhir dalam grup whastup Pers Mitra Polda Banten (Sabtu, 17/5/25), Bidang Humas Polda Banten menyajikan rilis berjudul “Polda Banten Tetapkan Tersangka Atas Kasus Permintaan Proyek PT Chandra Asri Senilai Rp 5 Triliun”. Intinya, Direktorat Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Banten, menetapkan pengurus KADIN Kota Cilegon, MS sebagai tersangka atas kasus permintaan proyek PT Chandra Asri, senilai Rp 5 Triliun pada Jumat malam (16/5/25).
Direktur Reskrimum Polda Banten, Kombes Pol. Dian Setyawan mengatakan, pihaknya menjerat tersangka dengan Pasal 368 KUHPidana tentang Pemerasan dan Kekerasan serta Pasal 335 KUHPidana tentang Pemaksaan. Tersangkanya tak cuma sendiri, tapi tiga orang yang langsung ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Polda Banten.
Seperti dalam rilis tersebut, masing-masing dari para tersangka, punya peran berbeda. I menggebrak dan meminta proyek tanpa lelang. Tersangka M memaksa minta proyek kepada PT Total selaku perwakilan dari PT Chengda Engineering Co selaku kontraktor pabrik kimia “chlor alkali-ethylene dichloride” (CA-EDC). Sementara R mengancam akan menghentikan proyek jika HNSI tidak dilibatkan dalam proyek PT China Chengda Engineering.
Terpadu
KEPOLISIAN Negara Republik Indonesia (Polri), demikian bunyi Pasal 30 (4) tentang Pertahanan dan Keamanan Negara dalam UUD ’45, sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Sementara dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri pada Pasal 13 tentang Tugas dan Wewenang menyebutkan: Tugas pokok Polri adalah a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, b) menegakkan hukum, dan c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayan kepada masyarakat,
Dari peristiwa premanisme yang akhir-akhir ini perburuannya digencarkan oleh Polri, tak bisa dielakkan munculnya kesan seolah kriminal yang satu ini baru terbangun sebulan dua bulan. Padahal, kriminal premanisme sudah berlangsung bertahun-tahun di negeri ini.
Siapa-siapa yang “memelihara” atau memanfaatkan para preman secara langsung atau tidak langsung untuk suatu kepentingan mereka, jawabannya terpulang kepada penangan dini yang terpadu.
Maka ketika pemimpin suatu daerah, misalnya, mengatakan bahwa suatu TKP premanisme tidak ber-RT dan tidak ber-RW, tentu bukan merupakan sebuah alasan pembenar untuk abai akan pembinaan. Sebab, sangat memrihatinkan di usia RI yang sudah jelang 80 tahun, jika masih ada pemimpin suatu daerah seolah ingin mengatakan pembinaan selama tidak masuk ke wilayah tersebut. Bukankah walau tak ada RT dan RW, daerah tersebut secara adminsitratif pemerintahan daerah, toh masuk dalam wilayah desa/ kelurahan, kecamatan, bahkan kota/ kabupaten, dan provinsi yang berangkutan?
Dalam keterpaduan pembinaan sebagai langkah pence
gahan, Polri dapat dilibatkan bukan hanya sebagai “pemadam kebaran” di kala persoalan sudah runyam atau saau pecah menjadi persitiwa yang menuntut penegakkan hukum.
Polri dapat dilibatkan dalam keterpaduan pembinaan dini, lebih-lebih lagi, institusi penegak hukum yang satu ini, telah diatur oleh UUD ’45 dan UU-nya sebagai pengayom, pelindung, pemelihara keamanan dan ketertiban, serta pelayan masyarakat.
Komitmen, Konsisten, Teladan
TERKAIT dengan premanisme, perwira tinggi cakap yang mendekati penulis usai ngamen seperti dalam tulisan ini, berkata, “Bagaimanapun, kami tetap Satyaha Prabu”. Artinya, “Setia kepada negara dan pimpinannya”. Tentu saja, dalamhal ini, pemimpin yang berkomitmen dan konsisten mewujudkan penegakkan UUD ’45 serta Fungsi, Tugas dan Wewenang Polri demi kepentingan Negara. Konsisten dapat diartikan terikat pada “satunya kata dengan perbuatan” dalam mengimplementasikannya, dan sang pemimpin sadar secara moral menjadi teladan bagi masyarakat dan lingkungan yang ia pimpin.
Satyaha Prabu adalah pertama dari empat isi Catur Prasetya yang menjadi landasan kerja Polri (sejak 1955). Lengkapnya, 1.Satyaha Prabu; 2. Hanyaken Musuh yang diartikan mengenyahkan musuh-musuh negara dan masyarakat; 3. Gieniung Pratidina yang berarti mengagungkan negara dan 4. Tansa Trisna yang berarti tidak terikat trisna pada sesuatu. Bahkan, Polri juga mempunyai Pedoman Hidup (1955) yaitu Tribrata yang lahir dan telah dirumuskan secara ilmiah. Hakikatnya pedoman hidup Polri itu, yakni 1. Polisi itu warga negara utama dari Nusa dan Bangsa; 2. Polisi itu warga utama dari negara; 3. Polisi itu wajib menjaga ketertiban pribadi dari rakyatnya (Prof. Awaloedin dkk, 2007: 316 dan 241).
Dengan kekuatan sekitar 500 ribu personel, Polri diketahui sekurangnya memiliki “tangan-tangan” yang cukup dalam menangan persoalan gangguan keamanan dan penertiban masyarakat. Pada Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam), misalnya, Polri memiliki Korps Sabhara yang di bawah kepemimpinan saat ini, Irjen Pol. Drs. M.H. Ritonga dengan motto yang sangat preemptif dan preventif, yakni “Siap, Terlihat, Bermanfaat bagi sekitar 61.000 lebih personel. Mereka ini terdiri atas Direktorsat Pengaman Objek Vital Nasional (Pamobvit), Samapta (diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti siap sedia dan waspada), serta unit-unit Polisi Satwa, dan Polisi Wisata.
Masih ada lagi pasukan yang lain untuk pelayanan dan menghadapi gangguan yang masih dalam lingkup sipil. Sebut saja di perairan dan udara ada Korps Polisi Air dan Udara (Polairud); untuk lalu-lintas darat ada Korps Polisi Lalu Lintas, selain juga ada Korps Pembinaan Masyarakat (Binmas). Semua punya tugas dan wewenang sesuai fungsi dan peran masing-masing pada kadarnya, yaitu harus dan selalu siap melangkah terpadu dengan unsur-unsur lain eksternal Polri.
Selain itu, Polri memiliki pasukan Brigade Mobil (Brimob) dengan motto Brimob untuk Indonesia. Brimob –yang punya sejarah panjang sejak sebelum hingga beridirinya negeri ini— selalu dikerahkan manakala negara dan masyarakat menghadapi ganggunan yang patut dibaca bertendensi dan berintensitas tinggi bagi keamanan.
Plus – minus selalu ada, jelas bukan sebuah permakluman untuk langkah pembiaran. Tetapi, peribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga” hendaknya patut dibaca secara adil, sehinggap tahu kapan patut digunakannya pengertian peribahasan itu untuk sebuah institusi. Atau sebaliknya demikian pula, terhadap yang bersifat pujian, agar tak cepat menyimpulkannya sebagai “cuma pencitraan” belaka.
Impulsif cuma akan merugikan, sementara komunikasi merupakan bagian dari kapasitas seorang pemimpin!